Rantai Pangan yang Inklusif: Mungkinkah?

Rantai Pangan yang Inklusif: Mungkinkah?

Latar Belakang

Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang memengaruhi kesejahteraan dan masa depan bangsa. Di Indonesia, tantangan ketahanan pangan mencakup berbagai masalah pada setiap tahap rantai nilai (value chain), mulai dari hulu hingga hilir. Situasi ini tidak hanya berdampak pada gizi masyarakat tetapi juga pada kesejahteraan petani dan peternak, serta kemandirian ekonomi nasional. Berikut adalah elaborasi menyeluruh atas permasalahan di sepanjang value chain:


1. Downstream: Tantangan Stunting dan Kebutuhan Gizi

1.1. Tingginya Angka Stunting

Indonesia masih menghadapi prevalensi stunting yang tinggi, yaitu sebesar 21,6% pada tahun 2022. Stunting, yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam 1.000 hari pertama kehidupan, berdampak pada pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Kurangnya akses terhadap protein hewani seperti daging, telur, dan susu menjadi faktor utama yang memengaruhi kondisi ini.

1.2. Ketimpangan Akses Pangan Bergizi

  • Harga yang Tidak Terjangkau: Protein hewani, yang menjadi sumber utama gizi untuk anak, masih sulit dijangkau oleh keluarga miskin. Di wilayah seperti Papua dan Maluku, harga daging ayam bisa mencapai 2-3 kali lipat harga di Pulau Jawa.
  • Distribusi yang Tidak Merata: Infrastruktur logistik yang buruk membuat distribusi bahan pangan bergizi tidak efisien, menyebabkan kelangkaan di daerah terpencil.

1.3. Program Makan Siang Bergizi yang Terbatas

Presentasi dalam acara seminar Nutrition Livestock Forum 2024 bertema “Pemenuhan Gizi Protein Hewani untuk Anak Bangsa"

Pemerintah telah meluncurkan program makan siang bergizi di sekolah-sekolah untuk meningkatkan gizi anak-anak. Namun, implementasi program ini menghadapi tantangan besar:

  • Kapasitas Penyedia Lokal: UMKM dan peternak lokal belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam program, sehingga pasokan pangan masih mengandalkan pemain besar.
  • Ketergantungan pada Impor: Sebagian besar kebutuhan protein hewani untuk program ini masih bergantung pada impor, meningkatkan biaya operasional dan mengurangi dampak ekonomi lokal.


2. Midstream: Kesejahteraan Peternak yang Tertekan

2.1. Harga Jual Petani/Peternak yang Rendah

Meskipun harga pangan tinggi di tingkat konsumen, petani dan peternak justru menerima harga jual yang rendah. Kondisi ini terjadi karena:

  • Dominasi Perantara: Petani dan peternak sering kali menjual hasil produksinya melalui perantara, yang menekan harga di tingkat produsen.
  • Ketimpangan Negosiasi: Petani kecil tidak memiliki daya tawar untuk menetapkan harga yang adil, terutama jika mereka tidak tergabung dalam koperasi atau platform digital.

2.2. Biaya Input yang Tinggi

  • Pupuk dan Pakan: Mafia pupuk dan kartel pakan menyebabkan harga input pertanian dan peternakan tetap tinggi. Akibatnya, margin keuntungan peternak menjadi semakin kecil.
  • Bibit Palsu: Peternak sering tertipu oleh bibit palsu, yang baru diketahui kualitasnya setelah waktu yang lama, misalnya pada tanaman sawit atau ternak yang baru menghasilkan setelah bertahun-tahun.


3. Upstream: Ketergantungan pada Impor

3.1. Impor Bahan Baku yang Mahal

Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku pertanian dan peternakan, seperti:

  • Pakan Ternak: Bahan baku seperti jagung dan kedelai sebagian besar diimpor, dengan harga yang fluktuatif karena pengaruh pasar global.
  • Pupuk dan Obat Hewan: Sebagian besar kebutuhan pupuk dan obat-obatan hewan juga diimpor, meningkatkan biaya produksi bagi petani dan peternak.

3.2. Kebijakan Impor yang Tidak Berpihak

  • Beban Pajak: Pajak impor dan biaya logistik yang tinggi menambah tekanan pada produsen lokal.
  • Perjanjian Dagang yang Tidak Menguntungkan: Beberapa perjanjian internasional memberikan keistimewaan kepada negara pengekspor untuk mengimpor produk ke Indonesia dengan tarif rendah, sehingga merugikan produsen lokal.


4. Keterkaitan Permasalahan di Sepanjang Value Chain

Permasalahan dalam value chain pangan Indonesia membentuk sistem yang saling terkunci, di mana tantangan di satu tahap menyebabkan efek domino pada tahap lainnya. Ketidakseimbangan ini menciptakan siklus permasalahan yang sulit diurai, menjadikan sektor pangan seperti benang kusut. Berikut elaborasi bagaimana masalah di upstream, midstream, dan downstream saling memengaruhi:

4.1. Efek Masalah Upstream pada Midstream

Masalah utama di upstream, seperti mahalnya bahan baku impor dan distribusi input yang tidak efisien, langsung menekan midstream:

  • Biaya Produksi yang Tinggi: Ketergantungan pada impor bahan baku seperti jagung dan kedelai menaikkan biaya pakan ternak, yang merupakan komponen terbesar dalam produksi peternakan. Ini memaksa peternak kecil beroperasi dengan margin yang sangat tipis atau bahkan rugi.
  • Ketidakstabilan Pasokan: Ketika bahan baku impor terganggu oleh fluktuasi harga global atau hambatan logistik, peternak lokal sering kali kesulitan mendapatkan pasokan tepat waktu. Hal ini menghambat produktivitas mereka dan menyebabkan ketidakseimbangan di rantai tengah.

Efeknya pada midstream:

  • Produsen kecil kesulitan mempertahankan skala produksi yang stabil.
  • Pengeluaran untuk input yang mahal tidak diimbangi oleh harga jual yang kompetitif, menciptakan tekanan finansial yang berkelanjutan.


4.2. Efek Masalah Midstream pada Downstream

Tantangan di midstream, seperti dominasi perantara dan infrastruktur distribusi yang buruk, menciptakan efek berantai ke downstream:

  • Harga Jual Rendah untuk Produsen, Tinggi untuk Konsumen: Perantara mendominasi midstream, menekan harga pembelian dari petani dan peternak tetapi menaikkan harga jual kepada konsumen. Akibatnya, petani kecil sulit bertahan, sementara konsumen menghadapi harga pangan yang mahal.
  • Kerusakan Produk dan Inefisiensi Logistik: Minimnya fasilitas seperti cold storage dan transportasi modern menyebabkan kerusakan produk selama distribusi. Ini tidak hanya meningkatkan limbah pangan tetapi juga menaikkan harga bagi konsumen untuk menutup kerugian.

Efeknya pada downstream:

  • Konsumen, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah, kesulitan mendapatkan akses ke pangan bergizi, yang pada akhirnya berkontribusi pada tingginya angka stunting.
  • Kesenjangan akses pangan antara wilayah urban dan rural semakin melebar, dengan daerah terpencil lebih terdampak oleh distribusi yang tidak efisien.


4.3. Efek Masalah Downstream pada Upstream dan Midstream

Kendala di downstream, seperti rendahnya daya beli dan ketimpangan akses pangan, juga memberi tekanan balik ke upstream dan midstream:

  • Permintaan yang Tidak Konsisten: Daya beli yang rendah di hilir menyebabkan fluktuasi permintaan, yang berdampak pada produsen di midstream dan upstream. Ketidakpastian ini menghambat investasi dalam produksi jangka panjang.
  • Ketergantungan pada Impor: Ketidakmampuan pasar lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga terjangkau memaksa pemerintah untuk meningkatkan impor, yang kembali menciptakan tekanan pada sektor upstream.

Efek siklus ini:

  • Upstream semakin terjebak dalam ketergantungan pada bahan baku impor yang mahal.
  • Midstream tidak dapat memanfaatkan potensi pasar lokal karena ketidakpastian permintaan di hilir.


4.4. Lingkaran Setan: Sistem yang Terjebak dalam Ketidakefisienan

Interkoneksi permasalahan di sepanjang value chain menciptakan lingkaran setan yang sulit diurai:

  1. Upstream: Ketergantungan pada impor meningkatkan biaya produksi yang tidak dapat diserap oleh produsen di midstream.
  2. Midstream: Produsen kecil ditekan oleh margin rendah akibat harga input yang tinggi dan dominasi perantara, sehingga tidak mampu menciptakan nilai tambah di hilir.
  3. Downstream: Harga pangan yang mahal dan distribusi yang tidak merata memperburuk daya beli konsumen dan memperlebar kesenjangan akses pangan, yang pada gilirannya kembali menciptakan tekanan pada upstream dan midstream.


4.5. Dampak Akhir: Benang Kusut yang Merugikan Semua Pihak

Keterkaitan masalah ini menghasilkan sistem pangan yang tidak hanya tidak efisien tetapi juga rentan terhadap krisis:

  • Produsen: Petani dan peternak kecil kehilangan insentif untuk meningkatkan produktivitas karena keuntungan yang minim, bahkan ketika harga pangan di pasar meningkat.
  • Konsumen: Keluarga berpenghasilan rendah tidak mampu membeli makanan bergizi, memperparah masalah kesehatan masyarakat seperti stunting.
  • Ekonomi Nasional: Ketergantungan pada impor tidak hanya meningkatkan defisit perdagangan tetapi juga menghambat pengembangan sektor agrikultur domestik yang mandiri.


5. Peran Digitalisasi dalam Mendukung Transformasi Tata Kelola Value Chain Pangan dan Program Makan Siang Bergizi

Digitalisasi memiliki potensi besar untuk mengatasi kompleksitas tata kelola value chain pangan di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis teknologi, digitalisasi dapat menciptakan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas di seluruh tahapan rantai nilai, mulai dari hulu hingga hilir. Berikut adalah cara digitalisasi dapat mendukung transformasi ini:

5.1. Mengintegrasikan Data untuk Kebijakan Berbasis Evidence

  • Sistem Pemantauan Real-Time: Teknologi seperti IoT dan blockchain dapat digunakan untuk memantau distribusi pupuk, benih, dan bahan pangan secara real-time. Hal ini memastikan bahwa alokasi input pertanian tepat sasaran dan mengurangi risiko penyelewengan oleh mafia pupuk atau benih.
  • Dashboard Berbasis Data: Pemerintah dapat menggunakan data real-time untuk mengidentifikasi kebutuhan pangan di berbagai wilayah, merancang kebijakan distribusi yang lebih efisien, dan mendukung program makan siang bergizi di sekolah.

5.2. Pemberdayaan Petani dan Peternak

  • Platform Digital untuk Agregasi Produk: Startup agritech dapat menghubungkan petani kecil dengan pasar yang lebih luas, memungkinkan mereka menjual produk langsung ke pembeli institusional seperti sekolah dan rumah sakit tanpa melalui perantara.
  • Pelatihan dan Akses Teknologi: Digitalisasi juga membuka peluang untuk memberikan pelatihan jarak jauh kepada petani dan peternak tentang teknik pertanian modern, manajemen sumber daya, dan penggunaan alat digital.

5.3. Efisiensi dalam Logistik

  • Optimalisasi Distribusi: Teknologi dapat mengidentifikasi rute distribusi yang paling efisien, sehingga mengurangi biaya logistik dan mempercepat pengiriman bahan pangan ke daerah terpencil.
  • Transparansi Rantai Pasok: Blockchain memastikan transparansi dalam alur distribusi, dari produsen hingga konsumen akhir. Hal ini penting untuk memastikan bahwa bahan pangan bergizi sampai ke tangan yang membutuhkan.

5.4. Mendukung Program Makan Siang Bergizi

  • Manajemen Stok dan Gizi: Data digital dapat membantu pemerintah memastikan ketersediaan bahan pangan sesuai kebutuhan gizi anak-anak di sekolah.
  • Kolaborasi dengan UMKM: Digitalisasi memungkinkan integrasi UMKM lokal sebagai pemasok program makan siang bergizi, sehingga tidak hanya meningkatkan akses pangan tetapi juga memberikan dampak ekonomi lokal.


6. Peran Koperasi untuk Mempromosikan Inklusivitas di Sepanjang Value Chain

Sesi diskusi dalam acara seminar Nutrition Livestock Forum 2024 bertema “Pemenuhan Gizi Protein Hewani untuk Anak Bangsa"
"Koperasi dapat memainkan peran kunci dalam mendistribusikan sumber protein hewani secara merata, menekan harga di daerah terpencil, dan meningkatkan kesejahteraan peternak". Agung Suganda- Kepala Dirjen PKH, Kementan

Koperasi merupakan elemen penting dalam menciptakan sistem pangan yang inklusif. Sebagai organisasi kolektif, koperasi memiliki potensi untuk memberdayakan petani dan peternak kecil serta memperbaiki daya tawar mereka di pasar. Berikut adalah peran strategis koperasi:

6.1. Pengelolaan Kolektif untuk Skala Ekonomi

  • Agregasi Produk: Koperasi dapat mengumpulkan hasil produksi petani dan peternak kecil untuk mencapai skala ekonomi yang memungkinkan mereka bersaing di pasar institusional seperti program makan siang bergizi.
  • Negosiasi Harga yang Adil: Dengan kekuatan kolektif, koperasi dapat menetapkan harga yang lebih baik untuk produk anggotanya dibandingkan petani atau peternak yang beroperasi secara individual.

6.2. Diversifikasi dan Stabilitas Produksi

  • Promosi Produk Lokal: Koperasi dapat mendorong diversifikasi produksi seperti hortikultura atau protein hewani lokal untuk memenuhi kebutuhan pasar yang beragam.
  • Pengelolaan Risiko: Dengan mengelola diversifikasi produk, koperasi dapat membantu petani mengurangi risiko dari fluktuasi harga atau kegagalan panen.

6.3. Peningkatan Kapasitas Anggota

  • Pelatihan dan Pendidikan: Koperasi dapat menjadi pusat pelatihan bagi anggotanya untuk meningkatkan literasi digital, teknik budidaya modern, dan manajemen bisnis.
  • Akses ke Teknologi dan Mekanisasi: Dengan menggunakan dana kolektif, koperasi dapat menyediakan akses ke alat mekanisasi modern yang meningkatkan efisiensi dan produktivitas anggotanya.

6.4. Mendukung Kedaulatan Pangan

  • Reduksi Ketergantungan pada Impor: Koperasi dapat memainkan peran kunci dalam memperkuat produksi lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga menciptakan sistem pangan yang lebih mandiri.
  • Kolaborasi dengan Startup Agritech: Melalui kemitraan dengan startup agritech, koperasi dapat memanfaatkan platform digital untuk mengelola operasi mereka dan terhubung dengan pasar yang lebih luas.


Kesimpulan

Digitalisasi dan koperasi merupakan dua pilar utama untuk memperbaiki tata kelola value chain pangan dan menciptakan sistem yang lebih inklusif. Digitalisasi memberikan transparansi dan efisiensi, sementara koperasi menyediakan landasan kelembagaan yang memperkuat daya tawar petani kecil dan memastikan distribusi manfaat yang adil di sepanjang value chain. Dengan memadukan kedua pendekatan ini, Indonesia dapat meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi angka stunting, dan menciptakan dampak ekonomi yang berkelanjutan bagi seluruh pelaku dalam sistem pangan.

Untuk melihat atau menambahkan komentar, silakan login