Tidak Selamanya Menjadi C-Level itu Baik

Tidak Selamanya Menjadi C-Level itu Baik

Dikisahkan seorang tikus yang lemah, sering susah mencari makan karena dikejar kucing, mengadu kepada dewa. Ia merasa hidupnya sangat menderita karena berada di kasta terbawah dari rantai makanan.

‘Dewa.. kenapa Engkau ciptakan hamba hanya sebagai tikus? Kenapa tidak ciptakan hamba sebagai kucing?’

Setiap hari si tikus berdoa demikian. Hingga setahun kemudian Dewa menjawab:

‘Hi tikus. Kamu bisa hidup damai meski terkadang harus melarikan diri dari kucing. Kamu tidak punya tuan, bebas kesana-kemari. Apakah kamu benar-benar ingin berubah menjadi kucing?’

‘Ya Dewa. Tolong ubah saya’.

Akhirnya dewa mengabulkan permintaan si tikus. Kini Ia adalah seorang kucing.

Pada awalnya si tikus menikmati hidupnya sebagai kucing. Ia bisa membalas dendam dengan berantem dengan kucing lain, serta membiarkan tikus bebas berkeliaran.

Tapi pada suatu ketika, saat Ia sedang mengejar kucing lain, ada hewan yang lebih kuat yang dengan mudah mengganggunya: anjing.

Ternyata kucing hanyalah bulan-bulanan anjing. Kecewa dengan kenyataan ini, Ia kembali berdoa kepada dewa, meminta agar diubah menjadi anjing.

Dewa yang mulai kzl mendengar permintaan tikus, memperingatkannya: ‘Saya sudah lelah dengan permintaanmu yang terus berubah hei tikus!’

Tapi entah kenapa, Dewa masih mengabulkan permohonannya. Kini si tikus adalah anjing.

Dengan tubuh barunya Ia lebih mampu menjalankan misi balas dendam kepada kucing. Hidupnya sangat bahagia. Ia tinggal di rumah seorang manusia yang menyayanginya. Si tikus bebas menghabiskan makanan anjing yang ada.

Hidupnya sangat bahagia. Sampai, Ia merasa bosan. Ia ngin melihat dunia luar. Meski sang majikan beberapa kali dalam seminggu mengajaknya berjalan-jalan ke taman, tapi si tikus ingin menjelajahi kota.

Ia merasa terpukau dengan dunia baru sebagai anjing. Dengan taman-taman, mainan, dan pergaulan dengan sesama anjing yang sepertinya mengasyikkan.

Sayangnya sang majikan selalu mengekang lehernya. Begitu pula saat malam, Ia harus tidur di kandang dan tidak boleh masuk ke dalam rumah.

Si tikus lalu membayangkan: betapa nikmatnya menjadi manusia.

Punya rumah, ada mobil, bisa kemana-mana tanpa tali pengikat. Tidak harus tidur di kandang. Dan bisa bercakap-cakap dengan manusia lain.

Kali ini Ia kembali berdoa kepada dewa. Pada awalnya tidak ada tanda-tanda doa itu akan dikabulkan. Tapi si tikus percaya pasti doanya didengar. Ia tetap berdoa dari pagi, siang, dan malam dan selama bermain dengan manusia.

Pada suatu pagi, ada keajaiban. Ia terbangun dan melihat jika Ia punya dua tangan, dua kaki, dan memiliki badan sebagai laki-laki! Ia sudah menjadi manusia!

Karena kaget Ia berteriak. Teriakannya membangunkan majikan si anjing, yang juga berteriak. Ia begitu kaget melihat ada laki-laki asing di kandang anjingnya. Ia langsung menghubungi polisi, yang datang dan akhirnya membawa si tikus.

Karena masih baru menjadi manusia, si tikus tidak bisa berbicara. Polisi berusaha mengintrogasinya. Si majikan menuduhnya sebagai pencuri anjing. Ia pun ditahan di kantor polisi, dan dijebloskan ke tahanan.

Di sel tahanan, si tikus menangis. Kenapa begitu berat menjadi manusia. Harus bisa berbicara. Harus punya tempat tinggal sendiri. Dan tidak bisa hidup dimana saja.

Saat meringkuk, ternyata di sel tahanannya ada lubang. Dan ada tikus disana. Ia bisa melihat dirinya sendiri, si tikus, ternyata memiliki hidup yang tidak terlalu menyedihkan. 

Meskipun jorok, tak ada tikus yang menahan tikus lain. Semua tikus bebas hidup dimana saja, mencari makan, dan tidak ada konsep kepemilikan properti.

Tidak selamanya menjadi tikus itu buruk. Dan tidak semua makhluk, cocok untuk menjadi manusia.

Cerita diatas hanyalah metafora dalam karier.

Saat kita barus lulus kuliah, kita hanyalah ‘tikus’. Berada dalam pekerjaan di level terbawah. Kita selalu bermimpi menjadi ‘kucing’, alias supervisor. Lalu ingin menjadi ‘anjing’, alias manager. Dan pada akhirnya semua ingin menjadi ‘manusia’ alias C-level atau owner.

Tapi sayangnya tidak semua orang pantas mendapatkannya.

Ada yang pantas hanya di level tikus. Ada yang lebih pantas di level anjing. Ada juga sebagian kecil yang pantas di level manusia. Tidak ada yang salah selama kita menjalankan peran dengan sekuat tenaga, dan menikmati prosesnya.

Inti tulisan ini bukannya melarang tikus bermimpi menjadi manusia. Tapi ada ‘harga’ yang harus dibayar jika kita ingin naik kelas.

Menjadi kucing / anjing di level supervisor / manager berarti punya tanggung jawab lebih besar, waktu yang lebih padat, dan tugas yang lebih banyak.

Apalagi di level owner (manusia). Kita harus siap kehilangan modal, ditipu pegawai / partner, atau mengalami kerugian hingga lebih miskin daripada kucing. 

Tidak selamanya menjadi tikus (staff) itu buruk. Jika kita mencari work life balance, hidup yang lebih damai, atau waktu yang lebih longgar untuk mengembangkan bisnis sendiri, bukan tidak mungkin menjadi staff adalah pilihan yang tepat.

Karena menjadi C-level / owner tidak untuk semua orang.

Novat Pugo Sambodo

Lecturer at the Department of Economics, Universitas Gadjah Mada

1 mgg

Kalau bisa tikus gaji manusia kak :D

Untuk melihat atau menambahkan komentar, silakan login